21 September 2022 – Tribrata Darmawangsa
Langit siang itu tiba-tiba berubah kelabu, dan tak lama kemudian hujan turun deras tanpa basa-basi. Saya baru saja selesai mengantarkan makanan ke salah satu gedung mewah di kawasan Tribrata Darmawangsa. Saat langkah hendak kembali ke motor, hujan datang seperti tamu tak diundang, tak ada waktu untuk menyiapkan jas hujan, apalagi kabur.
Saya berlari kecil ke arah basement parkiran, mencari sudut yang cukup kering untuk berteduh. Di sanalah saya berdiri, memandangi derasnya hujan yang menghantam aspal dan mengalir pelan ke selokan. Tetesannya jatuh berirama, menciptakan musik alam yang dingin tapi menenangkan.
Tak ada pelanggan yang menunggu. Tak ada aplikasi yang berbunyi. Hanya saya, hujan, dan waktu yang sejenak berhenti bergerak.
Kadang, momen paling berkesan dalam pekerjaan ini bukan soal makanan yang diantar atau gedung mewah yang disinggahi. Tapi tentang bagaimana saya dan hujan saling memahami bahwa di antara tergesa dan lelah, berteduh bisa jadi bentuk perlawanan kecil untuk tetap waras.
Hari itu saya tidak sekadar terjebak hujan. Saya sedang dipaksa berhenti, agar bisa mengingat bahwa hidup tak harus selalu berlari.
0 Comments