Bumi kita kaya akan keanekaragaman tumbuhan yang tersebar di berbagai habitat di seluruh dunia. Hingga saat ini, ilmuwan telah mengidentifikasi sekitar 400 ribu spesies tumbuhan. Namun, hanya kurang dari 10 persen dari jumlah tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Tiga tanaman utama—jagung, beras, dan gandum—memenuhi lebih dari separuh kebutuhan pangan dunia. Sejak manusia beralih ke gaya hidup menetap, kita mulai mengumpulkan dan membudidayakan bibit tanaman, sebuah praktik yang dimulai lebih dari 10 ribu tahun lalu oleh petani di Mesopotamia, wilayah yang kini dikenal sebagai Irak dan Turki. Dari bibit pertama tersebut, sekitar 200.000 varian gandum telah dikembangkan.
Keanekaragaman genetika dalam tanaman memainkan peran krusial dalam menjamin ketersediaan pangan kita. Semakin tinggi keanekaragaman, semakin kecil risiko tanaman pangan terancam punah akibat serangan hama atau penyakit. Untuk melindungi keanekaragaman ini, bank bibit menjadi sangat penting. Bank bibit tertua di dunia terletak di Saint Petersburg, Rusia, yang didirikan pada tahun 1894. Kini, bank bibit di Gatersleben, Jerman, dikenal sebagai pemilik koleksi bibit paling beragam di dunia. Bank bibit ini menyimpan bibit yang tidak ditemukan di tempat lain dan berfungsi sebagai arsip penting yang mengoleksi bibit dan tanaman dari berbagai area di seluruh dunia, termasuk yang disimpan di Global Seed Vault di pulau Spitsbergen, Norwegia.
Sayangnya, di lapangan, keanekaragaman tumbuhan terus menurun. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sekitar 75 persen keanekaragaman tumbuhan telah hilang selama abad ke-20. Penyebabnya beragam, namun salah satu faktor utamanya adalah industrialisasi pertanian. Tumbuhan kini harus memenuhi persyaratan produksi massal, matang pada waktu yang sama, dan tahan terhadap kerusakan saat dipanen oleh mesin berat. Globalisasi perdagangan menambah tekanan dengan menuntut buah-buahan dan sayuran tetap segar selama transportasi jarak jauh. Akibatnya, hanya sedikit variasi tanaman yang mampu memenuhi tuntutan ini, dan kemiskinan genetik pun terjadi. Meskipun produk di supermarket tampak beragam, banyak dari mereka sebenarnya hampir identik secara genetis.
Kemiskinan genetik ini membawa risiko serius. Pada tahun 1970-an, sebuah virus memusnahkan seperempat panen beras di Asia. Hanya dengan menyilangkan padi dengan varietas "padi liar" yang resistan, panen bisa diselamatkan. Ini menunjukkan betapa pentingnya keanekaragaman genetika dalam menjamin ketahanan pangan.
Selama beribu-ribu tahun, petani telah mengumpulkan dan menukar bibit untuk meningkatkan hasil panen dan mengembangkan varietas baru. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, jumlah perusahaan bibit menurun drastis, dan mereka hanya menjual sedikit variasi. Misalnya, 95 persen variasi kubis telah menghilang. Perusahaan-perusahaan ini mendesain tanaman mereka sendiri dan melindunginya dengan hak paten, memasok bibit untuk dua pertiga pasar global. Petani seringkali tidak bisa mengumpulkan bibit mereka sendiri dan harus membeli pupuk serta pestisida tertentu dari perusahaan tersebut.
Namun, ada harapan. Di seluruh dunia, semakin banyak orang yang berusaha mengubah tren ini dengan meningkatkan keanekaragaman tanaman dan menyebarkan bibit tanpa hak paten. Sebuah organisasi nirlaba Austria bernama “Arche Noah” atau Bahtera Nuh, berperan penting dalam mengumpulkan bibit dari varietas tanaman yang terancam punah. Mereka mengembangbiakkan bibit ini dan menyalurkannya ke berbagai supermarket yang menjual bibit dan produk mereka.
Melalui upaya-upaya seperti ini, kita dapat menjaga keanekaragaman genetika tumbuhan, yang tidak hanya penting untuk ketahanan pangan saat ini, tetapi juga untuk masa depan yang berkelanjutan. Keanekaragaman tanaman adalah kekayaan yang harus kita lestarikan, karena di dalamnya terletak kunci untuk menghadapi tantangan pangan global yang semakin kompleks.
Sumber : Youtube DW Indonesia (https://www.youtube.com/watch?v=y1lQN8ZgwTE)
0 Comments